Wednesday, July 29, 2015

BANK SYARIAH

1. BANK SYARIAH
Perbankan syariah atau perbankan Islam (Arab: المصرفية الإسلامية al-Mashrafiyah al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistemperbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Meskipun prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersialswasta atau semi-swasta dalam komunitas muslim di dunia.[1][2]
Sejarah
Suatu bentuk awal ekonomi pasar dan merkantilisme, yang oleh beberapa ekonom disebut sebagai "kapitalisme Islam", telah mulai berkembang antara abad ke-8 dan ke-12.[3] Perekonomian moneter pada periode tersebut berdasarkan mata uang dinar yang beredar luas saat itu, yang menyatukan wilayah-wilayah yang sebelumnya independen secara ekonomi.
Pada abad ke-20, kelahiran perbankan syariah tidak terlepas dari hadirnya dua gerakan renaisans Islam modern, yaitu gerakan-gerakan neorevivalis dan modernis.[2] Sekitar tahun 1940-an, di Pakistan dan Malaysia telah terdapat upaya-upaya pengelolaan dana jamaah haji secara non konvensional. Tahun 1963, Islamic Rural Bank berdiri di desa Mit Ghamr di Kairo, Mesir.[4]
Perbankan syariah secara global tumbuh dengan kecepatan 10-15% per tahun, dan menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan yang konsisten di masa depan.[5] Laporan dari International Association of Islamic Banks dan analisis Prof. Khursid Ahmad menyebutkan bahwa hingga tahun 1999 telah terdapat lebih dari 200 lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia, yaitu di negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim serta negara-negara lainnya di Eropa, Australia, maupun Amerika.[6] Diperkirakan terdapat lebih dari AS$ 822.000.000.000 aset di seluruh dunia yang dikelola sesuai prinsip-prinsip syariah, menurut analisis majalah The Economist.[7] Ini mencakup kira-kira 0,5% dari total estimasi aset dunia pada tahun 2005.[8] Analisis Perusahaan Induk CIMB Group menyatakan bahwa keuangan syariah adalah segmen yang paling cepat tumbuh dalam sistem keuangan global, dan penjualan obligasi syariah diperkirakan meningkat 24 persen hingga mencapai AS$ 25 miliar pada 2010.[9]
Prinsip perbankan syariah
Perbankan syariah memiliki tujuan yang sama seperti perbankan konvensional, yaitu agar lembaga perbankan dapat menghasilkan keuntungan dengan cara meminjamkan modal, menyimpan dana, membiayai kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai. Prinsip hukum Islam melarang unsur-unsur di bawah ini dalam transaksi-transaksi perbankan tersebut:[4]
Perniagaan atas barang-barang yang haram,
Bunga (ربا riba),
Perjudian dan spekulasi yang disengaja (ميسر maisir), serta
Ketidakjelasan dan manipulatif (غرر gharar).
Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional adalah sebagai berikut:[4]

Bank Islam
Melakukan hanya investasi yang halal menurut hukum Islam
Memakai prinsip bagi hasil, jual-beli, dan sewa
Berorientasi keuntungan dan falah (kebahagiaan dunia dan akhirat sesuai ajaran Islam)
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan
Penghimpunan dan penyaluran dana sesuai fatwa Dewan Pengawas Syariah

Bank Konvensional
Melakukan investasi baik yang halal atau haram menurut hukum Islam
Memakai perangkat suku bunga
Berorientasi keuntungan
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kreditur-debitur
Penghimpunan dan penyaluran dana tidak diatur oleh dewan sejenis
Afzalur Rahman dalam bukunya Islamic Doctrine on Banking and Insurance (1980) berpendapat bahwa prinsip perbankan syariah bertujuan membawa kemaslahatan bagi nasabah, karena menjanjikan keadilan yang sesuai dengan syariah dalam sistem ekonominya.[10]
Produk perbankan syariah
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:
Titipan atau simpanan[sunting | sunting sumber]
Al-Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. Bank Muamalat Indonesia-Shahibul Maal.
Deposito Mudharabah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
Bagi hasil
Al-Musyarakah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
Al-Mudharabah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
Al-Muzara'ah, adalah bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari hasil panen.
Al-Musaqah, adalah bentuk lebih yang sederhana dari muzara'ah, di mana nasabah hanya bertanggung-jawab atas penyiramaan dan pemeliharaan, dan sebagai imbalannya nasabah berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Jual beli[sunting | sunting sumber]
Bai' Al-Murabahah, adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh: harga rumah 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
Bai' As-Salam, Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Barang yang dibeli harus diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli berdasarkan keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu yang pendek (2-6 bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya padi, jagung, cabai) tidak dimaksudkan sebagai inventori, maka bank melakukan akad bai' as-salam kepada pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk, grosir). Contoh lain misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank, dan rekanan yang direkomendasikan penjual.
Bai' Al-Istishna', merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga barang bisa dibayar saat kontrak, dibayar secara angsuran, atau dibayar di kemudian hari. Bank mengikat masing-masing kepada pembeli dan penjual secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana semua pihak diikat secara bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak yang mengadakan barang bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi tersebut.
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik sama dengan ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa, namun dimasa akhir sewa terjadi pemindahan kepemilikan atas barang sewa.
Al-Wakalah adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad (perwakilan) yang sesuai dengan prinsip prinsip yang di terapkan dalam syariat islam.
Al-Kafalah adalah memberikan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung, dengan kata lain mengalihkan tanggung jawab seorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai jaminan.
Al-Hawalah adalah akad perpindahan dimana dalam prakteknya memindahkan hutang dari tanggungan orang yang berhutang menjadi tanggungan orang yang berkewajiban membayar hutang (contoh: lembaga pengambilalihan hutang).
Ar-Rahn, adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad gadai yang sesuai dengan syariah.
Al-Qardh adalah salah satu akad yang terdapat pada sistem perbankan syariah yang tidak lain adalah memberikan pinjaman baik berupa uang ataupun lainnya tanpa mengharapkan imbalan atau bunga ( riba . secara tidak langsung berniat untuk tolong menolong bukan komersial.
Tantangan Pengelolaan Dana
Laju pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.
Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional. Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.
Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.
Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, bahkan bersiap menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan global.
Adanya perbankan syariah di Indonesia dipelopori oleh berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)dengan tujuan mengakomodir berbagai aspirasi dan pendapat di masyarakat terutama masyarakat Islam yang banyak berpendapat bahwa bunga bank itu haram karena termasuk riba dan juga untuk mengambil prinsip kehati-hatian. Apabila dilihat dari segi ekonomi dan nilai bisnis, ini merupakan terobosan besar karena penduduk Indonesia 80% beragama islam, tentunya ini bisnis yang sangat potensial. Meskipun sebagian orang islam berpendapat bahwa bunga bank itu bukan riba tetapi faedah, karena bunga yang diberikan atau diambil oleh bank berjumlah kecil jadi tidak akan saling dirugikan atau didzolimi, tetapi tetap saja bagi umat islam berdirinya bank-bank syariah adalah sebuah kemajuan besar.
Tetapi sistem perbankan syariah di Indonesia masih belum sempurna atau masih ada kekurangannya yaitu masih berinduk pada Bank Indonesia, idealnya pemerintah Indonesia mendirikan lembaga keuangan khusus syariah yang setingkat Bank Indonesia yaitu Bank Indonesia Syariah.




2. KEBIJAKAN PENGENDALIAN JUMLAH UANG YANG BEREDAR
Pengendalian Jumlah Uang Beredar (JUB)
Pengendalian terhadap JUB, merupakan kebijakan yang sangat esensial berkaitan dengan perekonomian suatu negara. Pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia (BI) dan Departemen Keuangan, merupakan ‘aktor’ utama yang bertanggung jawab terhadap JUB di Indonesia. Namun demikian, kebijakan pemerintah dalam mengendalikan JUB ini tidak terlepas dari pelaku-pelaku lain dalam proses penciptaan uang beredar, yaitu:
bank-bank umum (atau sektor perbankan), dan masyarakat umum
Jumlah uang beredar, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas, senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Ia bisa membesar (ekspansif) atau mengecil (kontraktif), hal ini tergantung dari kebutuhan perekonomian. Tujuan pengendalian uang beredar ini tidak lain adalah untuk tercapainya pertumbuhan ekonomi nasional yang sifatnya stabil dan tidak terlampau tinggi.
JUB yang terlalu besar, seperti pernah terjadi pada tahun 80-an, yaitu ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi perbankan 1983 dan ditambah dengan kebijakan deregulasi 1988 (Pakto 1988), dampaknya juga tidak baik terhadap perekonomian jangka panjang. Kebijakan uang longgar (easy money) ketika itu, telah mengakibatkan aktivitas konomi yang terlampau tinggi (overheated), yang cenderung mendorong laju inflasi. Untuk mengurangi JUB ketika itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dikenal dengan "gebrakan Sumarlin". Dalam rangka absorpsi rupiah tersebut oleh Bank Indonesia, pemerintah menaikkan tingkat suku bunga deposito sampai 24% per tahun. Dan hal ini memang terbukti ampuh dalam mengurangi JUB.
Pengertian Jumlah Uang Beredar (JUB)
Ada sebagian ahli yang mengkalifikasikan jumlah uang beredar menjadi dua, yaitu:
jumlah uang beredar dalam arti sempit atau disebut ‘Narrow Money’ (M1), yang terdiri dari uang kartal dan uang giral (demand deposit); dan uang beredar dalam arti luas atau ‘Broad Money’ (M2), yang terdiri dari M1 ditambah dengan deposito berjangka (time deposit).
Sementara ahli lain menambahkan dengan M3, yang terdiri dari M2 ditambah dengan semua deposito pada lembaga-lembaga keuangan non bank. Dalam tulisan ini, jumlah uang beredar dibedakan menjadi dua yaitu uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang beredar dalam arti luas (M2).
Namun sebelum menguraikan uang beredar dalam arti sempit dan luas tersebut, penting dijelaskan disini tentang uang primer atau uang inti (reserve money), yang dinotasikan dengan M0. Uang inti merupakan cikal-bakal lahirnya uang kartal dan uang giral.
Uang Primer atau Uang Inti (M0)
Uang primer atau uang inti atau reserve money (Insukindro, 1994, hal: 76) merupakan kewajiban otoritas moneter (Bank Indonesia), yang terdiri atas uang kartal yang berada di luar Bank Indonesia dan Kas Negara, dan rekening giro Bank Pencipta Uang Giral (BPUG) dan sektor swasta (perusahaan maupun perorangan) di Bank Indonesia.
Dengan demikian, uang kartal yang dipegang pemerintah, dalam bentuk kas pemerintah atau kas negara, dan simpanan giral pemerintah pada Bank Indonesia, tidak termasuk sebagai komponen dari uang primer.
Uang Beredar Dalam Arti Sempit (Narrow Money = M1)
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa uang beredar dalam arti sempit adalah seluruh uang kartal dan uang giral yang ada di tangan masyarakat. Sedangkan uang kartal milik pemerintah (Bank Indonesia) yang disimpan di bank-bank umum atau bank sentral itu sendiri, tidak dikelompokkan sebagai uang kartal.
Sedangkan uang giral merupakan simpanan rekening koran (giro) masyarakat pada bank-bank umum. Simpanan ini merupakan bagian dari uang beredar, karena sewaktu-waktu dapat digunakan oleh pemiliknya untuk melakukan berbagai transaksi. Namun saldo rekening giro milik suatu bank yang terdapat pada bank lain, tidak dikategorikan sebagai uang giral.
Uang Beredar Dalam Arti Luas (Broad money = M2)
Dalam arti luas, uang beredar merupakan penjumlahan dari M1 (uang beredar dalam arti sempit) dengan uang kuasi. Uang kuasi atau near money adalah simpanan masyarakat pada bank umum dalam bentuk deposito berjangka (time deposits) dan tabungan. Uang kuasi diklasifikasikan sebagai uang beredar, dengan alasan bahwa kedua bentuk simpanan masyarakat ini dapat dicairkan menjadi uang tunai oleh pemiliknya, untuk berbagai keperluan transaksi yang dilakukan.
Dalam sistem moneter di Indonesia, uang beredar dalam arti luas ini (M2) sering disebut dengan likuiditas perekonomian.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar.
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa dasar terciptanya uang beredar adalah karena adanya uang inti atau uang primer. Dengan demikian, besarnya uang beredar ini sangat dipengaruhi oleh besarnya uang inti yang tersedia. Sedangkan besarnya uang inti ini dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: (Boediono, 1993, hal: 97)
Keadaan neraca pembayaran (surplus atau defisit);
Apabila neraca pembayaran mengalami surplus, berarti ada devisa yang masuk ke dalam negara, hal ini berarti ada penambahan jumlah uang beredar. Demikian pula sebaliknya, jika neraca pembayaran mengalami defisit, berarti ada pengurangan terhadap devisa negara. Hal ini berari ada pengurangan terhadap jumlah uang beredar.
Keadaan APBN (surplus atau defisit);
Apabila pemerintah mengalami defisit dalam APBN, maka pemerintah dapat mencetak uang baru. Hal ini berarti ada penambahan dalam jumlah uang beredar. Demikian sebaliknya, jika APBN negara mengalami surplus, maka sebagian uang beredar masuk ke dalam kas negara. Sehingga jumlah uang beredar semakin kecil.
Perubahan kredit langsung Bank Indonesia;
Sebagai penguasa moneter, Bank Indonesia tidak saja dapat memberikan kredit kepada bank-bank umum, tetapi BI juga dapat memberikan kredit langsung kepada lembaga-lembaga pemerintah yang lain seperti Pertamina, dan badan usaha milik negara (BUMN) lainnya. Perubahan besarnya kredit langsung ini akan berpengaruh terhadap besar kecilnya jumlah uang beredar.
Perubahan kredit likuiditas Bank Indonesia.
Sebagai banker’s bank, BI dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank umum. Sebagai contoh, ketika terjadi krisis ekonomi sejak tahun 1997 lalu, BI memberikan kredit likuiditas dalam rangka mengatasi krisis likuiditas bank-bank umum, yang jumlahnya mencapai ratusan trilyun rupiah. Hal ini berdampak pada melonjaknya jumlah uang beredar.
Di samping itu, adanya pinjaman luar negeri, kebijakan tarif pajak, juga dapat mempengaruhi besar kecilnya jumlah uang beredar.
Berbagai Kebijakan Pemerintah dalam Mempengaruhi Jumlah Uang Beredar.
Secara garis besar terdapat dua jenis kebijakan yang dilakukan pemerintah (Bank Indonesia dan Departemen Keuangan) dalam mengendalikan jumlah uang beredar, yaitu:
kebijakan moneter; dan fiskal.
Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, yang dibedakan menjadi dua, yaitu:
Kebijakan moneter kuantitatif , yang meliputi:
Poltik Pasar Terbuka
BI mengendalikan jumlah uang beredar dengan cara jual beli surat-surat berharga. BI mempunyai instrumen yaitu Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Apabila jumlah uang beredar dalam masyarakat terlalu besar, maka BI dapat menjual SBI kepada masyarakat (bank-bank umum). Apabila bank umum membeli SBI artinya ada uang yang tersedot ke pemerintah (BI), yang berarti jumlah uang beredar berkurang.
Politk Diskonto dan bunga pinjaman.
BI dapat membeli surat-surat berharga bank-bank umum yang tingkat likuiditasnya tinggi, dengan tingkat diskonto yang telah ditetapkan oleh BI. BI juga bisa memberikan pinjaman kepada bank-bank umum, yang artinya terjadi penambahan jumlah uang beredar. BI dapat juga menaikkan bunga pinjaman kepada bank-bank umum, maka bank umum akan mengurangi jumlah pinjamannya dari bank Indonesia.
Politik merubah cadangan minimal bank-bank umum pada BI
Setiap bank umum wajib mempunyai cadangan di BI dan jumlahnya ditetapkan oleh BI. Istilahnya adalah reserve requirement. Apabila Bank Indonesia menaikkan tingkat cadangan minimal bank-bank umum, katakanlah dari 10% menjadi 15%, maka hal ini akan mengurangi jumlah uang beredar, karena semakin besarnya modal bank-bank umum yang harus disimpan di BI.
Kebijakan moneter kualitatif, yang meliputi:
Pengawasan pinjaman secara selektif
Bank sentral mengawasi pinjaman dan investasi yang dilakukan oleh bank-bank umum, agar bank-bank umum selektif dalam memberikan kredit kepada debitur.
Pembujukan moral
Bank sentral mengadakan pertemuan langsung dengan pimpinan bank-bank umum untuk meminta langkah-langkah tertentu dalam rangka membantu kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah. Melalui pembujukan moral ini, bak\nk sentral dapat meminta bank-bank umum untuk menambah atau mengurangi pinjaman di semua sektor atau hanya di sektor-sektor tertentu saja. Ataupun membuat perubahan-perubahan tingkat bunga yang mereka tetapkan.
Kebijakan Fiskal (Pajak)
Kebijakan ini juga dapat mempengaruhi jumlah uang beredar, yaitu melalui pajak. Apabila pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan, memperluas objek pajak, berarti akan lebih banyak uang yang tersedot ke pemerintah. Dalam hal ini berarti jumlah uang beredar menjadi berkurang. Demikian pula misalnya ketika pemerintah menaikkan pajak kendaraan bermotor pada tahun 1999 sebesar kurang lebih 100%, hal ini berarti terjadi penyerapan (absorbsi) uang yang beredar.


3. PENCIPTAAN UANG MELALUI SISTEM PERBANKAN
a.Mekanisme Penciptaan Uang
            Dalam mekanisme penciptaan Uang terdapat tiga pelaku penciptaan uang : Otoritas Moneter, Bank Umum, Sektor Swasta Domestik. Ketiga pelaku tersebut saling bersinergi sehingga Deman dan Suplay berada pada keseimbangan yang diinginkan dimana Otoritas moneter sebagai pencetak uang kartal, Bank umum sebagai pencipta Uang giral dan kuasi, Sektor swasta domestik sebagai pengguna daripada uang yang di ciptakan otoritas moneter dan bank umum. Otoritas moneter dalam hal ini disebut dengan Bank sentral sebagai lembaga independen mengatur peredaran uang yang dicetaknya, hanya pada bank sentral uang kartal di ciptakan yang nantinya uang tersebut didistribusikan ke Bank umum dalam bentuk uang kartal, oleh bank umum di ubah lagi bentuk unag kartal tersebut menajdi uang giral yang berbentuk tabungan giro dan saving deposit, uang tersebut yang nantinya akan di salurkan ke sektor sawasta domestik. Dari bentuk-bentuk uang ini lah yang disebut dengan uang inti atau uang primer, dengan kata lain, uang primer adalah uang kartal yang dipegang bank umum dan masyarakat umum ditambahkan dengan saldo rekening giro milik bank umum dan masyarakat di Bank Indonesia. Jika dilihat dari neraca otoritas moneter dapat dilihat bahwa sisi pasiva adalah jumlah uanga primer yang beredar dan sebelah aktiva adalah faktor-faktor yang mempengarui uang beredar. Penciptaan Uang oleh bank umum hanya dalam bentuk uang giral dan kuasi, karena uang kartal hanya diciptakan oleh bank sentral itu sendiri.
M0       : Uang kartal (uang kertas dan Uang Logam)
M1       : M0 + Uang Giral + Deposito berjangka di Bank Sentral
M2       : M1 + Uang Kuasi (Bank Umum)
M3       : M2 + Uang Kuasi (non Bank)
Dalam dunia perbankan ada istilah pengganda uang (Money Multiplier) dimana jika ada seorang masyarakat yang menabungkan uangnya kepada bank umum, maka untuk memberikan bunga atas simpanan nasabah tersebut dan mendapatkan profit untuk badan usahanya, bank memberlakukan spread atau yang disebut dengan rentang perbedaan antara bunga simpanan dan bunga pinjaman, dimana bunga pinjaman berada diatas bunga simpanan untuk mendapatkan laba dan memberikan bunga kepada nasabah penyimpan uang. Untuk melindungi konsumen agar bunga pinjaman tidak terlalu besar sehingga membebankan nasabah peminjam uang pada bank umum, bank sentral memberlakukanReserve Requirement atau GWM (Giro Wajib Minimum) atau yang biasa kita kenal di Bank Indonesia ada istilah BI Rate diman nilai ini sebagai acuan dalam penggandaan uang. Naik turunnya niali pelipatganda tergantung pada tiga hal : Currency ratio, time & savings deposit ratio, dan reserve ratio.
Currency Ratio dipengarui oleh prilaku masyarakat dalam menggunakan uang kartal dan giral, seperti : Biaya penggunaan uang giral, kenyamanan dan keamanan.
Time and Savings Deposit Ratio yang dipengarui oleh prilaku manusia meliputi : Biaya Relatif, Pendapatan Masyarakat, Kemajuan layanan sektor perbankan.
Reserve Ratio  (cadangan uang) besar kecilnya cadangan uang bank bergantung pada: Ketentuan otoritas moneter dan Likuiditas.
b. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUI UANG BEREDAR
            Seperti diketahui sebelumnya bahwa uang yang beredar adalah hasil kali dari uang primer dengan multipliernya, adapun faktor-faktor yang mempengarui peredaran uang adalah
Faktor-faktor yang mempengarui multipier uang: yaitu faktor-faktor determinan uang itu sendiri anatara lain: biaya penggunaan uang giral, kenyamanan dan keamanan, biaya relatif yaitu suku bunga, pendapatan masyarakat, kemajuan layanan sektor perbankan, ketentuan otoritas moneter dan keperluan bank akan likuiditas jangka pendek.
Faktor-faktor yang mempengarui perubahan uang primer: terkait dengan perubahan transaksi keuangan masyarakat yang tercermin pada neraca otoritas moneter, baik dari sisi uang primer (pasiva) maupun pada yang mempengarui uang primer (aktiva).
Pada komponen neraca otoritas moneter, jumlah uang primer yang beredar sangan di pengarui oleh kemajuan ekonomi suatu negara seperti expor impor dan aliran modal, perkembangan dan mekanisme dibidang perkreditan, serta manajemen perencanaan pemerintah yang tercermin pada anggaran belanja pemerintah. Dapat disimpulkan bahwa peredaran uang sangat dipenarui oleh tingkat pendapatan masyarakat, suku bunga, kewajiban pemerintah dan otoritas moneter.
c. PERAN UANG DALAM PEREKONOMIA
            Pada dasarnya, hubungan antara uang dan perekonomian adalah sesuatu hal yang saling bersinersi secara alamiah dimana semua kegiatan ekonomi seperti produksi, investasi dan konsumsi membutuhkan benda yang disebut dengan uang. Jika uang beredar terlalu banyak, maka akan mempengarui harga yang cendrung meninggi, sebaliknya jika uang terlalu sedikit maka perekonomian cendrung seret. Hal ini dapat ditinjau dari dua sisi, pertama sektor riil (barang & jasa) dan sektor moneter (uang). Dalam sebuah pasar dimana tempat bertemunya penjual dan pembeli, penjual mempunyai barang dan pembeli mempunyai uang, jika pembeli membutuhkan barang yang dimiliki penjual maka pembeli harus menggunakan uangnya untuk mendapatkan barang yang nialinya sama dengan uang yang dikeluarkan. Dalam perekonomian, bukan hanya barang dan jasa yang diperjualbelikan, bhakan uang pun diperjual belikan. Jika kaji lebih dalam lagi seperti kegiatan produksi yang meliputi input faktor produksi pun membutuhkan uang mulai dari pembelian barang mentah, sewa, upah tenaga kerja dan Modal.
Dalam pasar uang, permintaan dan penawaran uang harus pada posisi kesimbangan dimana tidak ada kekurangan maupun kelebihan uang. Kelebihan uang akan mengakibatkan turunnya tingkat suku bunga, jika sebaliknya, maka suku bunga akan naik, jadi tingkat suku bunga cendrung berubah-ubah tergantung pada mekanisme pasar (money suply and money deman).
Uang dalam sektor riil ini sangat bersinergi dimana secara nyata suku bunga rendah akan lebih menggairahkan perekonomian karena kebijakan otoritas moneter sehingga lebih dapat menggerakan kegiatan produksi dan investasi, jika terjadi sebaliknya maka kegiatan produksi dan investasi cendrung seret, tak sedikit perusahaan yang gulung tikar akibat tingkat suku bunga yang tinggi sehingga mengahambat proses produksi dan investasi.
Dalam teori pasar dimana berpotongnya agregat deman dan agregat suply, jika suply lebih besar dari permintaan, maka harga suatu barang akan murah, sebaliknya jika permintaan lebih tinggi daripada penawaran, maka harga barang tersebut akan mahal, sama halnya dengan pasar uang, jumlah uang yang beredar sangat dipengarui perpotongan kurva agregat deman dan agregat suply yang nantinya akan mempengarui harga barang yang diproduksi, hal ini seperti efekdomino dalam perekonomian, jika uang yangberedar dimasyarakat banyak melebihi kebutuhan konsumen, hal ini akan memicu harga barang-barang umum naik sehingga menimbulkan inflasi, inflasi karena kelebihan uang ini disebut dengan fenomena moneter. Sedangkan inflasi karena kekakuan perekonomian suatu negara disebut dengan fenomena struktual dimana dalam perekonomiannya cendrung kaku yang tidak mudah melakukan perubahan mengikuti iklim ekonomi yang sebenarnya terjadi dan yang sebenarnya harus dilakukan.
Untuk mengatasi inflasi yang disebabkan masalah struktual dan otoritas moneter, maka perlu adanya pengendalian Jumlah Uang Beredar (JUB), pengaturan JUB ini merupaka salah satu kerangka kebijakan moneter yang dilakukan oleh otoritas moneter, hal ini bertujuan untuk menjaga stabilitas nilai uang dan mendorong kegiatan perkonomian. Adapun kebijakan moneter yang diambil ada dua yaitu ekspansi atau kontarksi, tergantung pada kondisi perekonomian suatu negara. Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas harga sesuai dengan UU no 23 tahun 1999 yang dapat dilihat dengan stabilnya BI rate. Meskipun dalam prakteknya amatlah sulit dalam menjaga stabilitas harga, minimal Bank Indonesia dengan otoritasnya dapat melkukan kebijakan expansif bagi perekonomian yang lesu dan sebalikny jika negara harga terlalu tinggi maka BI mengambil kebijakan kontraktif dengan membatasi peredaran uang. BI selalu berusaha menerapkan berbagai kebijakan untuk memastikan mana keputusan yang paling optimal diterapkan di Indonesia dengan otoritas moneternya demi tercapainya stabilitas harga.

Sumber : http://qonitriadi.wordpress.com/2013/03/22/uang-pengertian-penciptaan-dan-perananya-dalam-pere

No comments:

Post a Comment