1. BANK SYARIAH
Perbankan
syariah atau perbankan
Islam (Arab:
المصرفية الإسلامية al-Mashrafiyah al-Islamiyah) adalah
suatu sistem perbankan yang
pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah).
Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk
meminjamkan atau memungut pinjaman dengan
mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan
untuk berinvestasi pada
usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistemperbankan
konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal
tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan
produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak
Islami, dan lain-lain.
Meskipun
prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah
perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank
Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersialswasta atau
semi-swasta dalam komunitas muslim di
dunia.[1][2]
Sejarah
Suatu bentuk
awal ekonomi pasar dan merkantilisme,
yang oleh beberapa ekonom disebut sebagai "kapitalisme Islam", telah
mulai berkembang antara abad ke-8 dan ke-12.[3] Perekonomian
moneter pada periode tersebut berdasarkan mata uang dinar yang
beredar luas saat itu, yang menyatukan wilayah-wilayah yang sebelumnya
independen secara ekonomi.
Pada abad ke-20,
kelahiran perbankan syariah tidak terlepas dari hadirnya dua gerakan renaisans
Islam modern, yaitu gerakan-gerakan neorevivalis dan modernis.[2] Sekitar
tahun 1940-an, di Pakistan dan Malaysia telah
terdapat upaya-upaya pengelolaan dana jamaah haji secara
non konvensional. Tahun 1963, Islamic Rural Bank berdiri di desa Mit Ghamr di Kairo, Mesir.[4]
Perbankan
syariah secara global tumbuh dengan kecepatan 10-15% per tahun, dan menunjukkan
tanda-tanda pertumbuhan yang konsisten di masa depan.[5] Laporan
dari International Association of Islamic Banks dan analisis Prof. Khursid
Ahmad menyebutkan bahwa hingga tahun 1999 telah terdapat lebih dari 200 lembaga
keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia, yaitu di negara-negara dengan
mayoritas penduduk muslim serta negara-negara lainnya di Eropa, Australia,
maupun Amerika.[6] Diperkirakan
terdapat lebih dari AS$ 822.000.000.000 aset di seluruh dunia yang dikelola
sesuai prinsip-prinsip syariah, menurut analisis majalah The Economist.[7] Ini
mencakup kira-kira 0,5% dari total estimasi aset dunia pada tahun 2005.[8] Analisis Perusahaan Induk CIMB Group menyatakan
bahwa keuangan syariah adalah segmen yang paling cepat tumbuh dalam sistem
keuangan global, dan penjualan obligasi syariah diperkirakan
meningkat 24 persen hingga mencapai AS$ 25 miliar pada 2010.[9]
Prinsip perbankan syariah
Perbankan
syariah memiliki tujuan yang sama seperti perbankan konvensional, yaitu agar
lembaga perbankan dapat menghasilkan keuntungan dengan cara meminjamkan modal,
menyimpan dana, membiayai kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai.
Prinsip hukum Islam melarang
unsur-unsur di bawah ini dalam transaksi-transaksi perbankan tersebut:[4]
Perbandingan antara bank syariah dan bank
konvensional adalah sebagai berikut:[4]
Bank Islam
Memakai prinsip bagi hasil, jual-beli,
dan sewa
Berorientasi keuntungan dan falah (kebahagiaan
dunia dan akhirat sesuai ajaran Islam)
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk
kemitraan
Penghimpunan dan penyaluran dana sesuai
fatwa Dewan Pengawas Syariah
|
Bank Konvensional
Melakukan
investasi baik yang halal atau haram menurut hukum Islam
Memakai perangkat suku bunga
Berorientasi keuntungan
Penghimpunan dan penyaluran dana tidak
diatur oleh dewan sejenis
|
Afzalur Rahman
dalam bukunya Islamic
Doctrine on Banking and Insurance (1980) berpendapat bahwa prinsip
perbankan syariah bertujuan membawa kemaslahatan bagi nasabah, karena
menjanjikan keadilan yang sesuai dengan syariah dalam sistem ekonominya.[10]
Produk perbankan syariah
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh
bank berbasis syariah antara lain:
Titipan
atau simpanan[ | ]
Al-Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat
mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak
berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. Bank
Muamalat Indonesia-Shahibul Maal.
Deposito
Mudharabah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam
kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang
dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil
tertentu.
Bagi
hasil
Al-Musyarakah (Joint
Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture.
Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara
kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing
pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur
tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
Al-Mudharabah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap
keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati.
Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang
diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak
nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
Al-Muzara'ah, adalah bank memberikan pembiayaan bagi nasabah
yang bergerak dalam bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari
hasil panen.
Al-Musaqah, adalah bentuk lebih yang sederhana dari
muzara'ah, di mana nasabah hanya bertanggung-jawab atas penyiramaan dan
pemeliharaan, dan sebagai imbalannya nasabah berhak atas nisbah tertentu dari
hasil panen.
Jual
beli[ | ]
Bai'
Al-Murabahah, adalah penyaluran dana
dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna
jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan
sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat
mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan
besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh: harga
rumah 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah
peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara
Bank dan Nasabah.
Bai' As-Salam, Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di kemudian hari,
sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Barang yang dibeli harus diukur dan
ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli berdasarkan
keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Contoh: Pembiayaan bagi petani
dalam jangka waktu yang pendek (2-6 bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya
padi, jagung, cabai) tidak dimaksudkan sebagai inventori, maka bank melakukan
akad bai' as-salam kepada pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk,
grosir). Contoh lain misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank,
dan rekanan yang direkomendasikan penjual.
Bai'
Al-Istishna', merupakan bentuk As-Salam khusus di
mana harga barang bisa dibayar saat kontrak, dibayar secara angsuran, atau
dibayar di kemudian hari. Bank mengikat masing-masing kepada pembeli dan
penjual secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana semua pihak diikat
secara bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak yang
mengadakan barang bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan
pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi tersebut.
Sewa[ | ]
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang
itu sendiri.
Al-Ijarah
Al-Muntahia Bit-Tamlik sama
dengan ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui
pembayaran upah sewa, namun dimasa akhir sewa terjadi pemindahan kepemilikan
atas barang sewa.
Jasa[ | ]
Al-Wakalah adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan
akad (perwakilan) yang sesuai dengan prinsip prinsip yang di terapkan dalam
syariat islam.
Al-Kafalah adalah memberikan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada
pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung, dengan
kata lain mengalihkan tanggung jawab seorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggung jawab orang lain sebagai jaminan.
Al-Hawalah adalah akad perpindahan dimana dalam prakteknya memindahkan hutang
dari tanggungan orang yang berhutang menjadi tanggungan orang yang berkewajiban
membayar hutang (contoh: lembaga pengambilalihan hutang).
Ar-Rahn, adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan
akad gadai yang
sesuai dengan syariah.
Al-Qardh adalah salah satu akad yang terdapat pada sistem perbankan syariah
yang tidak lain adalah memberikan pinjaman baik berupa uang ataupun lainnya
tanpa mengharapkan imbalan atau bunga ( riba . secara tidak langsung berniat
untuk tolong menolong bukan komersial.
Tantangan Pengelolaan Dana
Laju pertumbuhan
perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan
syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata
lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir
rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia
membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya.
Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan
syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.
Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu
miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah
di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan
nasional. Sedangkan di
Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen
dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan
perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.
Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah
berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah,
serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis
syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat,
perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi
berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.
Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, bahkan bersiap
menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu
sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di
Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih
umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah
dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek
besar, melibatkan lembaga keuangan global.
Adanya perbankan syariah di Indonesia dipelopori oleh berdirinya Bank
Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)dengan
tujuan mengakomodir berbagai aspirasi dan pendapat di masyarakat terutama
masyarakat Islam yang banyak berpendapat bahwa bunga bank itu haram karena
termasuk riba dan juga untuk mengambil prinsip kehati-hatian. Apabila dilihat
dari segi ekonomi dan nilai bisnis, ini merupakan terobosan besar karena
penduduk Indonesia 80% beragama islam, tentunya ini bisnis yang sangat potensial.
Meskipun sebagian orang islam berpendapat bahwa bunga bank itu bukan riba
tetapi faedah, karena bunga yang diberikan atau diambil oleh bank berjumlah
kecil jadi tidak akan saling dirugikan atau didzolimi, tetapi tetap saja bagi
umat islam berdirinya bank-bank syariah adalah sebuah kemajuan besar.
Tetapi sistem perbankan syariah di Indonesia masih belum sempurna atau
masih ada kekurangannya yaitu masih berinduk pada Bank Indonesia, idealnya
pemerintah Indonesia mendirikan lembaga keuangan khusus syariah yang setingkat
Bank Indonesia yaitu Bank Indonesia Syariah.
2. KEBIJAKAN PENGENDALIAN JUMLAH UANG YANG BEREDAR
Pengendalian Jumlah
Uang Beredar (JUB)
Pengendalian terhadap JUB, merupakan kebijakan yang sangat esensial
berkaitan dengan perekonomian suatu negara. Pemerintah, dalam hal ini Bank
Indonesia (BI) dan Departemen Keuangan, merupakan ‘aktor’ utama yang
bertanggung jawab terhadap JUB di Indonesia. Namun demikian, kebijakan
pemerintah dalam mengendalikan JUB ini tidak terlepas dari pelaku-pelaku lain
dalam proses penciptaan uang beredar, yaitu:
bank-bank umum
(atau sektor perbankan), dan masyarakat umum
Jumlah uang
beredar, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas, senantiasa mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Ia bisa membesar (ekspansif) atau mengecil
(kontraktif), hal ini tergantung dari kebutuhan perekonomian. Tujuan
pengendalian uang beredar ini tidak lain adalah untuk tercapainya pertumbuhan
ekonomi nasional yang sifatnya stabil dan tidak terlampau tinggi.
JUB yang terlalu
besar, seperti pernah terjadi pada tahun 80-an, yaitu ketika pemerintah
mengeluarkan kebijakan deregulasi perbankan 1983 dan ditambah dengan kebijakan
deregulasi 1988 (Pakto 1988), dampaknya juga tidak baik terhadap perekonomian
jangka panjang. Kebijakan uang longgar (easy money) ketika itu, telah
mengakibatkan aktivitas konomi yang terlampau tinggi (overheated), yang
cenderung mendorong laju inflasi. Untuk mengurangi JUB ketika itu, pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang dikenal dengan "gebrakan Sumarlin". Dalam
rangka absorpsi rupiah tersebut oleh Bank Indonesia , pemerintah menaikkan
tingkat suku bunga deposito sampai 24% per tahun. Dan hal ini memang terbukti
ampuh dalam mengurangi JUB.
Pengertian Jumlah Uang Beredar (JUB)
jumlah uang
beredar dalam arti sempit atau disebut ‘Narrow Money’ (M1), yang terdiri dari
uang kartal dan uang giral (demand deposit); dan uang beredar dalam arti luas
atau ‘Broad Money’ (M2), yang terdiri dari M1 ditambah dengan deposito
berjangka (time deposit).
Sementara ahli
lain menambahkan dengan M3, yang terdiri dari M2 ditambah dengan semua deposito
pada lembaga-lembaga keuangan non bank. Dalam tulisan ini, jumlah uang beredar
dibedakan menjadi dua yaitu uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang
beredar dalam arti luas (M2).
Namun sebelum
menguraikan uang beredar dalam arti sempit dan luas tersebut, penting
dijelaskan disini tentang uang primer atau uang inti (reserve money), yang
dinotasikan dengan M0. Uang inti merupakan cikal-bakal lahirnya uang kartal dan
uang giral.
Uang Primer atau
Uang Inti (M0)
Uang primer atau uang inti atau reserve money (Insukindro, 1994, hal: 76)
merupakan kewajiban otoritas moneter (Bank Indonesia), yang terdiri atas uang
kartal yang berada di luar Bank Indonesia dan Kas Negara, dan rekening giro
Bank Pencipta Uang Giral (BPUG) dan sektor swasta (perusahaan maupun
perorangan) di Bank Indonesia.
Dengan demikian, uang kartal yang dipegang pemerintah, dalam bentuk kas
pemerintah atau kas negara, dan simpanan giral pemerintah pada Bank Indonesia,
tidak termasuk sebagai komponen dari uang primer.
Uang Beredar
Dalam Arti Sempit (Narrow Money = M1)
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa uang beredar dalam arti sempit
adalah seluruh uang kartal dan uang giral yang ada di tangan masyarakat.
Sedangkan uang kartal milik pemerintah (Bank Indonesia) yang disimpan di
bank-bank umum atau bank sentral itu sendiri, tidak dikelompokkan sebagai uang
kartal.
Sedangkan uang giral merupakan simpanan rekening koran (giro) masyarakat
pada bank-bank umum. Simpanan ini merupakan bagian dari uang beredar, karena
sewaktu-waktu dapat digunakan oleh pemiliknya untuk melakukan berbagai
transaksi. Namun saldo rekening giro milik suatu bank yang terdapat pada bank
lain, tidak dikategorikan sebagai uang giral.
Uang Beredar
Dalam Arti Luas (Broad money = M2)
Dalam arti luas, uang beredar merupakan penjumlahan dari M1 (uang beredar
dalam arti sempit) dengan uang kuasi. Uang kuasi atau near money adalah
simpanan masyarakat pada bank umum dalam bentuk deposito berjangka (time
deposits) dan tabungan. Uang kuasi diklasifikasikan sebagai uang beredar, dengan
alasan bahwa kedua bentuk simpanan masyarakat ini dapat dicairkan menjadi uang
tunai oleh pemiliknya, untuk berbagai keperluan transaksi yang dilakukan.
Dalam sistem moneter di Indonesia, uang beredar dalam arti luas ini (M2)
sering disebut dengan likuiditas perekonomian.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi jumlah uang beredar.
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa dasar terciptanya uang beredar
adalah karena adanya uang inti atau uang primer. Dengan demikian, besarnya uang
beredar ini sangat dipengaruhi oleh besarnya uang inti yang tersedia. Sedangkan
besarnya uang inti ini dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: (Boediono, 1993,
hal: 97)
Keadaan neraca
pembayaran (surplus atau defisit);
Apabila neraca pembayaran mengalami surplus, berarti ada devisa yang masuk
ke dalam negara, hal ini berarti ada penambahan jumlah uang beredar. Demikian
pula sebaliknya, jika neraca pembayaran mengalami defisit, berarti ada
pengurangan terhadap devisa negara. Hal ini berari ada pengurangan terhadap
jumlah uang beredar.
Keadaan APBN (surplus atau defisit);
Apabila
pemerintah mengalami defisit dalam APBN, maka pemerintah dapat mencetak uang
baru. Hal ini berarti ada penambahan dalam jumlah uang beredar. Demikian
sebaliknya, jika APBN negara mengalami surplus, maka sebagian uang beredar
masuk ke dalam kas negara. Sehingga jumlah uang beredar semakin kecil.
Perubahan kredit
langsung Bank Indonesia;
Sebagai penguasa moneter, Bank Indonesia tidak saja dapat memberikan kredit
kepada bank-bank umum, tetapi BI juga dapat memberikan kredit langsung kepada
lembaga-lembaga pemerintah yang lain seperti Pertamina, dan badan usaha milik
negara (BUMN) lainnya. Perubahan besarnya kredit langsung ini akan berpengaruh
terhadap besar kecilnya jumlah uang beredar.
Perubahan kredit likuiditas Bank Indonesia .
Sebagai banker’s bank, BI dapat memberikan kredit likuiditas kepada
bank-bank umum. Sebagai contoh, ketika terjadi krisis ekonomi sejak tahun 1997
lalu, BI memberikan kredit likuiditas dalam rangka mengatasi krisis likuiditas
bank-bank umum, yang jumlahnya mencapai ratusan trilyun rupiah. Hal ini
berdampak pada melonjaknya jumlah uang beredar.
Di samping itu, adanya pinjaman luar negeri, kebijakan tarif pajak, juga
dapat mempengaruhi besar kecilnya jumlah uang beredar.
Berbagai Kebijakan Pemerintah dalam Mempengaruhi Jumlah Uang Beredar.
Secara garis
besar terdapat dua jenis kebijakan yang dilakukan pemerintah (Bank Indonesia
dan Departemen Keuangan) dalam mengendalikan jumlah uang beredar, yaitu:
kebijakan
moneter; dan fiskal.
Kebijakan Moneter
Kebijakan
moneter merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia , yang dibedakan menjadi
dua, yaitu:
Kebijakan moneter kuantitatif , yang
meliputi:
Poltik Pasar Terbuka
BI mengendalikan jumlah uang beredar dengan cara jual beli surat-surat
berharga. BI mempunyai instrumen yaitu Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Apabila
jumlah uang beredar dalam masyarakat terlalu besar, maka BI dapat menjual SBI
kepada masyarakat (bank-bank umum). Apabila bank umum membeli SBI artinya ada
uang yang tersedot ke pemerintah (BI), yang berarti jumlah uang beredar
berkurang.
Politk Diskonto
dan bunga pinjaman.
BI dapat membeli surat-surat berharga bank-bank umum yang tingkat
likuiditasnya tinggi, dengan tingkat diskonto yang telah ditetapkan oleh BI. BI
juga bisa memberikan pinjaman kepada bank-bank umum, yang artinya terjadi
penambahan jumlah uang beredar. BI dapat juga menaikkan bunga pinjaman kepada
bank-bank umum, maka bank umum akan mengurangi jumlah pinjamannya dari bank
Indonesia.
Politik merubah
cadangan minimal bank-bank umum pada BI
Setiap bank umum wajib mempunyai cadangan di BI dan jumlahnya ditetapkan
oleh BI. Istilahnya adalah reserve requirement. Apabila Bank Indonesia
menaikkan tingkat cadangan minimal bank-bank umum, katakanlah dari 10% menjadi
15%, maka hal ini akan mengurangi jumlah uang beredar, karena semakin besarnya
modal bank-bank umum yang harus disimpan di BI.
Kebijakan moneter
kualitatif, yang meliputi:
Pengawasan pinjaman secara selektif
Bank sentral
mengawasi pinjaman dan investasi yang dilakukan oleh bank-bank umum, agar
bank-bank umum selektif dalam memberikan kredit kepada debitur.
Pembujukan moral
Bank sentral
mengadakan pertemuan langsung dengan pimpinan bank-bank umum untuk meminta
langkah-langkah tertentu dalam rangka membantu kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
diambil oleh pemerintah. Melalui pembujukan moral ini, bak\nk sentral dapat
meminta bank-bank umum untuk menambah atau mengurangi pinjaman di semua sektor
atau hanya di sektor-sektor tertentu saja. Ataupun membuat perubahan-perubahan tingkat
bunga yang mereka tetapkan.
Kebijakan Fiskal (Pajak)
Kebijakan ini
juga dapat mempengaruhi jumlah uang beredar, yaitu melalui pajak. Apabila
pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan, memperluas objek pajak, berarti
akan lebih banyak uang yang tersedot ke pemerintah. Dalam hal ini berarti
jumlah uang beredar menjadi berkurang. Demikian pula misalnya ketika pemerintah
menaikkan pajak kendaraan bermotor pada tahun 1999 sebesar kurang lebih 100%,
hal ini berarti terjadi penyerapan (absorbsi) uang yang beredar.
3. PENCIPTAAN UANG MELALUI SISTEM
PERBANKAN
a.Mekanisme Penciptaan Uang
Dalam mekanisme penciptaan
Uang terdapat tiga pelaku penciptaan uang : Otoritas Moneter, Bank Umum, Sektor
Swasta Domestik. Ketiga pelaku tersebut saling bersinergi sehingga Deman dan
Suplay berada pada keseimbangan yang diinginkan dimana Otoritas moneter sebagai
pencetak uang kartal, Bank umum sebagai pencipta Uang giral dan kuasi, Sektor
swasta domestik sebagai pengguna daripada uang yang di ciptakan otoritas
moneter dan bank umum. Otoritas moneter dalam hal ini disebut dengan Bank
sentral sebagai lembaga independen mengatur peredaran uang yang dicetaknya,
hanya pada bank sentral uang kartal di ciptakan yang nantinya uang tersebut
didistribusikan ke Bank umum dalam bentuk uang kartal, oleh bank umum di ubah
lagi bentuk unag kartal tersebut menajdi uang giral yang berbentuk tabungan
giro dan saving deposit, uang tersebut yang nantinya akan di salurkan ke sektor
sawasta domestik. Dari bentuk-bentuk uang ini lah yang disebut dengan uang inti
atau uang primer, dengan kata lain, uang primer adalah uang kartal yang
dipegang bank umum dan masyarakat umum ditambahkan dengan saldo rekening giro
milik bank umum dan masyarakat di Bank Indonesia . Jika dilihat dari neraca
otoritas moneter dapat dilihat bahwa sisi pasiva adalah jumlah uanga primer
yang beredar dan sebelah aktiva adalah faktor-faktor yang mempengarui uang
beredar. Penciptaan Uang oleh bank umum hanya dalam bentuk uang giral dan
kuasi, karena uang kartal hanya diciptakan oleh bank sentral itu sendiri.
M0
: Uang kartal (uang kertas dan Uang Logam)
M1
: M0 + Uang Giral + Deposito berjangka di Bank Sentral
M2
: M1 + Uang Kuasi (Bank Umum)
M3
: M2 + Uang Kuasi (non Bank)
Dalam dunia perbankan ada istilah pengganda uang (Money Multiplier) dimana
jika ada seorang masyarakat yang menabungkan uangnya kepada bank umum, maka
untuk memberikan bunga atas simpanan nasabah tersebut dan mendapatkan profit
untuk badan usahanya, bank memberlakukan spread atau yang disebut dengan rentang perbedaan
antara bunga simpanan dan bunga pinjaman, dimana bunga pinjaman berada diatas bunga
simpanan untuk mendapatkan laba dan memberikan bunga kepada nasabah penyimpan
uang. Untuk melindungi konsumen agar bunga pinjaman tidak terlalu besar
sehingga membebankan nasabah peminjam uang pada bank umum, bank sentral
memberlakukanReserve Requirement atau GWM (Giro Wajib Minimum) atau yang biasa kita
kenal di Bank Indonesia ada istilah BI Rate diman nilai ini sebagai acuan dalam
penggandaan uang. Naik turunnya niali pelipatganda tergantung pada tiga hal : Currency ratio, time & savings deposit ratio, dan reserve ratio.
Currency Ratio dipengarui oleh prilaku masyarakat dalam
menggunakan uang kartal dan giral, seperti : Biaya penggunaan uang giral,
kenyamanan dan keamanan.
Time and
Savings Deposit Ratio yang dipengarui oleh prilaku manusia meliputi : Biaya Relatif,
Pendapatan Masyarakat, Kemajuan layanan sektor perbankan.
Reserve Ratio (cadangan uang)
besar kecilnya cadangan uang bank bergantung pada: Ketentuan otoritas moneter
dan Likuiditas.
b. FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUI UANG BEREDAR
Seperti diketahui sebelumnya bahwa uang yang
beredar adalah hasil kali dari uang primer dengan multipliernya, adapun
faktor-faktor yang mempengarui peredaran uang adalah
Faktor-faktor yang mempengarui multipier uang: yaitu faktor-faktor
determinan uang itu sendiri anatara lain: biaya penggunaan uang giral,
kenyamanan dan keamanan, biaya relatif yaitu suku bunga, pendapatan masyarakat,
kemajuan layanan sektor perbankan, ketentuan otoritas moneter dan keperluan
bank akan likuiditas jangka pendek.
Faktor-faktor yang mempengarui perubahan uang primer: terkait dengan
perubahan transaksi keuangan masyarakat yang tercermin pada neraca otoritas
moneter, baik dari sisi uang primer (pasiva) maupun pada yang mempengarui uang
primer (aktiva).
Pada komponen neraca otoritas moneter, jumlah uang primer yang beredar
sangan di pengarui oleh kemajuan ekonomi suatu negara seperti expor impor dan
aliran modal, perkembangan dan mekanisme dibidang perkreditan, serta manajemen
perencanaan pemerintah yang tercermin pada anggaran belanja pemerintah. Dapat
disimpulkan bahwa peredaran uang sangat dipenarui oleh tingkat pendapatan
masyarakat, suku bunga, kewajiban pemerintah dan otoritas moneter.
c. PERAN UANG
DALAM PEREKONOMIA
Pada dasarnya, hubungan antara uang dan perekonomian
adalah sesuatu hal yang saling bersinersi secara alamiah dimana semua kegiatan
ekonomi seperti produksi, investasi dan konsumsi membutuhkan benda yang disebut
dengan uang. Jika uang beredar terlalu banyak, maka akan mempengarui harga yang
cendrung meninggi, sebaliknya jika uang terlalu sedikit maka perekonomian
cendrung seret. Hal ini dapat ditinjau dari dua sisi, pertama sektor riil
(barang & jasa) dan sektor moneter (uang). Dalam sebuah pasar dimana tempat
bertemunya penjual dan pembeli, penjual mempunyai barang dan pembeli mempunyai
uang, jika pembeli membutuhkan barang yang dimiliki penjual maka pembeli harus
menggunakan uangnya untuk mendapatkan barang yang nialinya sama dengan uang
yang dikeluarkan. Dalam perekonomian, bukan hanya barang dan jasa yang
diperjualbelikan, bhakan uang pun diperjual belikan. Jika kaji lebih dalam lagi
seperti kegiatan produksi yang meliputi input faktor produksi pun membutuhkan
uang mulai dari pembelian barang mentah, sewa, upah tenaga kerja dan Modal.
Dalam pasar uang, permintaan dan penawaran uang harus pada posisi
kesimbangan dimana tidak ada kekurangan maupun kelebihan uang. Kelebihan uang
akan mengakibatkan turunnya tingkat suku bunga, jika sebaliknya, maka suku
bunga akan naik, jadi tingkat suku bunga cendrung berubah-ubah tergantung pada
mekanisme pasar (money suply and money deman).
Uang dalam sektor riil ini sangat bersinergi dimana secara nyata suku bunga
rendah akan lebih menggairahkan perekonomian karena kebijakan otoritas moneter
sehingga lebih dapat menggerakan kegiatan produksi dan investasi, jika terjadi
sebaliknya maka kegiatan produksi dan investasi cendrung seret, tak sedikit
perusahaan yang gulung tikar akibat tingkat suku bunga yang tinggi sehingga
mengahambat proses produksi dan investasi.
Dalam teori pasar dimana berpotongnya agregat deman dan agregat suply, jika
suply lebih besar dari permintaan, maka harga suatu barang akan murah,
sebaliknya jika permintaan lebih tinggi daripada penawaran, maka harga barang
tersebut akan mahal, sama halnya dengan pasar uang, jumlah uang yang beredar
sangat dipengarui perpotongan kurva agregat deman dan agregat suply yang
nantinya akan mempengarui harga barang yang diproduksi, hal ini seperti
efekdomino dalam perekonomian, jika uang yangberedar dimasyarakat banyak melebihi
kebutuhan konsumen, hal ini akan memicu harga barang-barang umum naik sehingga
menimbulkan inflasi, inflasi karena kelebihan uang ini disebut dengan fenomena
moneter. Sedangkan inflasi karena kekakuan perekonomian suatu negara disebut
dengan fenomena struktual dimana dalam perekonomiannya cendrung kaku yang tidak
mudah melakukan perubahan mengikuti iklim ekonomi yang sebenarnya terjadi dan
yang sebenarnya harus dilakukan.
Untuk mengatasi inflasi yang disebabkan masalah struktual dan otoritas
moneter, maka perlu adanya pengendalian Jumlah Uang Beredar (JUB), pengaturan
JUB ini merupaka salah satu kerangka kebijakan moneter yang dilakukan oleh
otoritas moneter, hal ini bertujuan untuk menjaga stabilitas nilai uang dan
mendorong kegiatan perkonomian. Adapun kebijakan moneter yang diambil ada dua
yaitu ekspansi atau kontarksi, tergantung pada kondisi perekonomian suatu
negara. Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas harga sesuai dengan UU no 23
tahun 1999 yang dapat dilihat dengan stabilnya BI rate. Meskipun dalam
prakteknya amatlah sulit dalam menjaga stabilitas harga, minimal Bank Indonesia
dengan otoritasnya dapat melkukan kebijakan expansif bagi perekonomian yang
lesu dan sebalikny jika negara harga terlalu tinggi maka BI mengambil kebijakan
kontraktif dengan membatasi peredaran uang. BI selalu berusaha menerapkan
berbagai kebijakan untuk memastikan mana keputusan yang paling optimal
diterapkan di Indonesia dengan otoritas moneternya demi tercapainya stabilitas
harga.
No comments:
Post a Comment