Cendikiawan
Islam “Al-Farabi”
Al
Farabi adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Ibnu Turkhan Ibnu Uzlaq Al Farabi.
Dinamai dengan Al Farabi karena dihubungkan dengan Farab, salah satu orang
Turki yang terletak di daerah Khurasan dekat dengan sungai Situn (Transoxiana).
Dia kelahiran bangsa Turki tetapi mempunyai hubungan darah dengan bangsa Persi.
Dia lahir pada tahun 259 H/879 M di Farab dan wafat di Aleppo pada tahun 339
H/950 M. (Dalam Ensiklopedi Islam lahir pada tahun 257 H/870 M dan wafat pada
tahun 337 H/950 M, dalam buku Khazanah Intelektual Islam). Ayahnya adalah
seorang jendral dan seorang Iran yang menikah dengan wanita Turkistan dan
kadang-kadang disebut keturunan Iran.
Ia
juga dikenal dengan nama lain Abū Nasir al-Fārābi ( dalam beberapa sumber ia
dikenal sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al-
Farabi, juga dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan
Abunasir).
Al
Farabi dianggap sebagai salah satu pemikir terkemuka dari era abad pertengahan.
Al
Farabi selalu berpindah tempat dari waktu ke waktu. Di masa kecilnya ia dikenal
rajin belajar dan memiliki otak yang cerdas, belajar agama, bahasa Arab, bahasa
turki, dan bahasa Persi di kota kelahirannya, Farab. Setelah besar Al Farabi
pindah ke Baghdad dan tinggal di sana sekitar 20 tahun lamanya. Di sana ia
memperdalam filsafat, logika matematika, etika, ilmu politik, dan sebagainya.
Dari Baghdad Al Farabi pindah ke Harran (Iran). Di sana ia belajar filsafat
Yunani kepada beberapa orang ahli, diantaranya Yuhana dan Hailan. Tak lama kemudian
meninggalkan Harran dan kembali lagi ke Baghdad.
Selama
di Baghdad ia menghabiskan waktunya untuk mengajar dan menulis. Al Farabi
mengarang buku tentang logika, fisika ilmu jiwa, metafisika, kimia, ilmu
politik, musik dan lain-lain. Tetapi kebanyakan karyanya yang ditulis dalam
bahasa Arab telah hilang dalam peredaran dan diperkirakan tersisa sekitar 30
buah.
Menurut
banyak sumber, ia bisa menguasai 70 bahasa dunia dan karenanya Al Farabi
dikenal menguasai banyak cabang keilmuan. Dalam bidang ilmu pengetahuan,
keahlian yang paling menonjol ialah dalam ilmu mantiq.
Dalam
filsafat Al Farabi tergolong di dalam kelompok filsuf kemanusiaan. Ia lebih
mementingkan soal-soal kemanusiaan seperti akhlaq (etika) terhadap intelektual
politik dan seni. Dan menurut Prof. Gilson menyatakan bahwa ia amat mencintai
tokoh filsafat (Plato & Aristoteles). Filsafat Al Farabi sebenarnya
merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neo Platonisme dengan
pikiran keislaman yang jelas dan aliran Syiah Imamiah. Dalam soal mantiq dan
filsafat fisika umpamanya, ia pengikut pemikiran-pemikiran Aristoteles.
Sedangkan dalam lapangan metafisika Al Farabi mengikuti jejak Plotinus.
Al
Farabi dapat juga dipandang sebagai pelopor
klasifikasi ilmu pengetahuan. Ia membuat klasifikasi ilmu ke dalam tujuh
bagian, yaitu : logika, percakapan (ilmi Al lisan), metematika, fisika,
metafisika, politik dan ilmu agama.
Abu
Nashr ahli pula dalam bidang ilmu musik. Dialah yang meletakkan dasar-dasar
pertama ilmu musik dalam sejarah. Karenanya ia diberi gelar “Guru Pertama”
dalam ilmu musik. Musik telah dikenal semenjak zaman Phytagoras. Phytagoras
telah membuat ikhtisarnya menjadi beberapa bagian harmoni. Al Farabi berusaha
menyempurnakan ilmu musik dan menerangkan di mana kekurangan-kekurangan
Phytagoras.
Selama
di Baghdad ia menghabiskan waktunya menulis karya-karyanya :
1. Agrad
Al Kitab Ma Ba’da At Tabi’ah (Intisari buku Metafisika)
2. Al
Jam’u Baina Ra’yai Al Hakimaini (mempertemukan dua pendapat filsuf : Plato dan
Aristoteles)
3. Uyun
Al Masa’il (Pokok-pokok Persoalan)
Pikiran-Pikiran
Pendidikan Kota:
1. Ihsa’
Al Ulmu
2. Al
madinatul Fadlilah (Negeri Utama)
3. Risalah
Assiyassiyah
4. Assaamarotul
Mardliyayah
5. Al
Majau
Dalam
bidang fisika :
1. On
Vacum
2. Against
Astrology
Dalam
bidang Metafisika :
1. About
the Scope of Aristoteles Metaphysizs
2. On
the one (Fi Al Wahid dan Wahda)
Karyanya
yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama)
yang membahas tentang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan
hubungan antara rejim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum
Ilahiah Islam.
Ø IDE POKOK PEMIKIRAN AL
FARABI:
Dalam
buku Al Farabi yang berjudul Risalah Fisiyah, seperti yang dikutip oleh Oemar
Amin Husain, mengatakan bahwa :
1. Anak
Membawa Sifat Baik dan Buruk dan kemampuan itu.
Anak-anak
berbeda pembawaannya satu sama lain. Oleh karena itu apa yang diajarkan harus
disesuaikan dengan perbedaan pembawaan dan kemampuan itu. Karena diantara
anak-anak yang berwatak buruk itu akan dipergunakannya untuk tujuan
perbuatan-perbuatan buruk, maka seharusnya pendidikan membawa mereka ke dalam
pembinaan. Pemberian pelajaran yang mungkin dipergunakannya untuk tujuan buruk,
hendaknya dicegah secepat mungkin dengan pendidikan akhlaq.
2. Melakukan
Pembinaan Diri (Tafakur)
Pembinaan
diri pribadi ke arah jalan yang terbaik yaitu agar mengadakan hal ikhwal kepada
masyarakat, bangsa-bangsa dan pekerja-pekerja mereka serta hal ikhwal
pejabat-pejabat pemerintah dari mereka baik langsung disaksikannya atau tidak
langsung dari apa yang didengarkannya dan lalu ia memperhatikan sungguh-sungguh
dan menganalisis semua yang diketahuinya itu dan mengklasifikasikan antara
kebaikan dan keburukannya antara yang bermanfaat dan madhorot terhadap mereka.
Sesudah itu hendaklah ia berijtihad sungguh-sungguh untuk mengambil mana
kebaikannya. Untuk memperolehnya dan hendaklah ia bersungguh-sungguh pula
menghindari mana yang buruk, agar ia aman dari kemudhorotnya dan selamat dari
malapetaka sebagaimana bangsa itu selamat. Dari pernyataan di atas dapat
dipahami pendapat Al Farabi bahwa kriteria kebaikan dapat diangkat dari sejarah
pengalaman manusia.
3. Anak
Berbeda dalam Pemahaman/Kecerdasan
Di
antara anak ada pula yang lemah kecerdasannya, yang sulit untuk dikembangkan.
Kepada anak golongan ini diberikan mata pelajaran yang sesuai dengan kondisi
mereka. Namun banyak pula dari anak-anak itu punya ahlaq yang luhur, pribadi
yang baik, kepada mereka inji haruslah diberikan pendidikan dan pengajaran
sebanyak-banyaknya sesuai dengan bakat pembawaan mereka.
4. Kekuatan
Jiwa Manusia
Al
Farabi membagi kekuatan-kekuatan jiwa ke dalam beberapa bagian :
a. Kekuatan-kekuatan
gizi (Quwwatul ghariyah)
Dengan kekuatan ini manusia
menghisap makanan (gizi).
b. Kekuatan-kekuatan
Indrawi (Quwwatul Hassah)
Kekuatan indrawi timbul
setelah kekuatan gizi. Dengan kakuatan indrawi manusia sanggup mengindra.
Kekuatan pengindraan mempunyai sentral dan cabang-cabang yang disebut panca
indra, dan otak sebagai sentral yang bertugas menghimpun seluruh apa yang
ditangkap panca indra seutuhnya.
c. Kekuatan
imajinasi (mutakhayyilah)
Berfungsi menyimpan dan
memelihara segala yang diterima alat-alat indrawi
d. Kekuatan
nathiqoh.
Dengan daya ini seseorang
dapat berpikir tentang hal-hal yang abstrak, membentuk pengertian-pengertian
atau dengan kata lain dapat membuat keputusan yang mantap.
Ø METODE AL FARABI
Untuk
menjadi seorang yang punya nama dimata dunia tentulah tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Ia harus menempuh perjalanan panjang yang tidak mulus, banyak
rintangan di sana-sini. Untuk memperoleh jati diri yang sebenarnya. Melihat
dari biografi dan status sosial, yang mana di masa kecilnya ia sudah terlihat
kecerdasannya tetapi karena Al Farabi tak menuliskan riwayat hidupnya, sehingga
informasi tidak terlalu memadai, namun hal itu masih dapat kita ketahui
keluarga masa kanak-kanak dan masa remajanya. Dalam kehidupannya ia selalu
berpindah tempat tinggal dari waktu ke waktu untuk memperoleh pengetahuan yang
tidak dapat ia temukan hanya pada satu tempat, dan hal ini juga didorong karena
ia tertarik dengan studi rasional, yang tidak diperoleh di kota kelahirannya,
sehingga ia meninggalkan rumah dan mengembara menuntut ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu penulis menilai bahwa proses untuk menjadi seorang yang besar “Al
Farabi”, ia mensosialisasikannya dengan metode paripatetik atau perjalanan
ilmiah yaitu “orang yang suka berkeliling".
Ø TEORI AL FARABI
Berangkat
dari metode Al Farabi, maka teori yang digunakannya adalah analitic generatif
yaitu menguraikan sesuatu yang bersifat umum. Hal ini dapat kita lihat dalam
perjalanannya tersebut, yaitu pada masa Amir Saifullah. Al Farabi adalah
seorang yang tajam tanggapannya. Sifat ini terbukti ketika para pakar dalam berbagai
ilmu pengetahuan sedang berdiskusi, dalam diskusi tersebut ia selalu mengatasi
pendapat anggota-anggota lain, hingga pada akhirnya anggota yang lain diam
semuanya. Tinggallah dia berbicara sendirian, sedang anggota lainnya mencatat
apa yang ia ucapkan.
Ø
SETTING SOSIAL AL FARABI
Berbeda
dengan kelaziman beberapa sarjana muslim lainnya Al Farabi tidak menuliskan
riwayat hidupnya, dan tidak seorangpun para pengikutnya merekam kehidupannya,
sebagaimana yang dilakukan Al Jurjani untuk gurunya, Ibnu Sina. Oleh karena itu
mengenai kehidupan Al Farabi masih terdapat kesamaran dan beberapa masalah yang
masih perlu diteliti dan dituntaskan.
Kehidupan Al Farabi dapat dibagi
menjadi dua periode, yang pertama dari sejak lahir sampai ia berusia 50 tahun.
Dengan informasi yang tidak memadai ini, kita dapat mengetahui kaluarganya,
masa kanak-kanaknya, dan masa remajanya. Telah diyakini bahwa ia lahir sebagai
orang Turki, ayahnya seorang jendral, dan ia sendiri bekerja sebagai hakim untuk
beberapa lama. Al Farabi tinggal di Baghdad pada masa kholifah Abbasiyah “Al
Muktadir” (950).
Pada
awal abad ke 3 H/9 M di Farab berlangsung kebudayaan dan pemikiran yang meluas
bersama dengan pengenalan Islam, dan pada saat itu terkenal pula seorang ahli
bahasa Al Jauhari, yang telah menulis buku “Al Shiha”, salah seorang yang
sezaman dengan Al Farabi.
Pendidikan
dasarnya ialah keagamaan dan bahasa, ia mempelajari fiqh, hadits dan tafsir Al
Qur’an. Ia mempelajari bahasa Arab, Turki, dan Persia, ia tidak mengabaikan
manfaat yang dapat diperoleh dari studi-studi rasional yang berlangsung pada
hidupnya, seperti matematika dan filsafat, meskipun tampaknya ia tidak
berpaling keduanya sampai kemudian. Dan ketika ia demikian tertarik dengan
studi rasional, ia tidak puas dengan apa yang doperolehnya di kota
kehadirannya, terdorong oleh keinginan intelektualnya itu maka ia meninggalkan
rumahnya dan mengembara menuntut ilmu pengetahuan.
Periode
kedua kehidupan Al Farabi adalah periode usia tua dan kematangan penuh. Baghdad
sebagai pusat belajar yang terkemuka pada abad ke 4 H/10 M, merupakan tempat
yang pertama yang dikunjunginya, di sana ia berjumpa dengan sarjana dari
berbagai bidang, diantaranya pada filosof dan penerjemah. Ia tertarik untuk
mempelajari logika, dan diantara ahli-ahli logika terkenal dari Baghdad, Abu
Bisyr Matta Ibn Yunnus-lah yang dipandang orang sebagai ahli logika paling
terkemuka pada zamannya. Untuk beberapa lama Al Farabi belajar logika kepada
Ibnu Yunnus. Ia mengungguli gurunya, dan karena pencapaiannya yang gemilang di
bidang ini, ia memperoleh sebutan “Guru Kedua”.
Al
Farabi bermukim 10 tahun di Baghdad dan kemudian tertarik oleh pusat kebudayaan
lain di Aleppo. Di sana tempat-tempat orang brillian dan para sarjana, istana
Saif Al Daulah, berkumpul para penyair, ahli bahasa, filosof, dan sarjana
kenamaan lainnya. Meski ada simpati kuat keakraban dari istana tersebut, namun
tidak ada rasa ke-ras-an atau prasangka di dalamnya orang-orang Persia, Turki,
dan Arab berdiskusi dan berdebat, sepakat atau berbeda pendapat tanpa mencari
keuntungan pribadi dalam menuntut ilmu pengetahuan. Di istana tersebut Al
Farabi tinggal, dan merupakan orang pertama terkemuka, sebagai sarjana dan
pencari kebenaran, kehidupan yang gemerlapan dan megah di istana itu tidak
mempengaruhinya, dan dalam pakaian sufi ia membebani dirinya dengan tugas berat
seorang sarjana dan pengajar. Ia menulis buku-buku dan artikel-artikel dalam
suasana gemercikan air sungai dan di bawah dedaunan pepohonan yang rindang.
Kecuali beberapa perjalanan
singkatnya ke luar negeri, Al Farabi bermukim di Syiria hingga wafat pada tahun
339 H/950 M. Ibnu Usaibi’ah menyebutkan bahwa Al Farabi mengunjungi menjelang
akhir hayatnya. Hal ini mungkin karena Mesir dan Syiria mempunyai hubungan yang
kuat di sepanjang rentangan sejarah yang cukup panjang dan kehidupan kebudayaan
Mesir pada masa Thutunniyah dan Ikhsyidiyyah memang mempunyai pesona.
Tetapi tersiarnya kabar tetangga terbunuhnya Al Farabi oleh beberapa perampok
dalam perjalanannya antara Damaskus Asgalan sebagaimana dikutip Al Baihaqi
adalah rekaan belaka. Al Farabi mencapai posisi yang sangat terpuji di Istana
Saif Al Daulah, sampai-sampai sang raja bersama sang pengikut dekatnya mengantarkan
jenazahnya ke pemakamannya sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana
terkemuka.
Sumber
dari www.dedekusn.wordpress.com
No comments:
Post a Comment